Kisah

Minggu, 19 Januari 2014

Menyapa Kaldera Gunung Ceremai di Penghujung Tahun 2012 [Part 2]

(lanjutan)

Start pukul 07.00 WIB di Sabtu pagi terakhir bulan Desember, dari 600 mdpl kami menyusuri kebun ubi, kebun cengkeh, dan sawah yang menjadi teman perjalanan kami pagi itu. Jalanan aspal hanya muat untuk satu mobil saja. Sesekali kami bertemu penduduk desa yang sedang memanen hasil kebunnya. Jalanan aspal semakin menanjak. Lumayan untuk pemanasan. 40 menit kami lalui dengan bercanda dan bermain dengan tumbuhan putri malu.

Tidak terasa kami sampai di pos pertama, Cibunar 750 mdpl. Ternyata di CIbunar terdapat banyak pendaki yang hendak turun. Ada juga yang baru akan naik tetapi mengisi perut di warung yang ada di sana. Kami beristirahat sebentar, meminum air di botol kecil hingga habis, dan mengisinya kembali karena tidak ada sumber air di sepanjang jalur Linggarjati kecuali di Cibunar ini.




Perjalanan kami lanjutkan, melewati jalan setapak yang semakin menanjak, kebun milik warga di sisi kiri dan kanan, sampai melewati dua pondokan tidak berpenghuni. Sepertinya dulu pondokan ini dibangun untuk dijadikan warung. Perjalanan terus kami lanjutkan. Perlahan namun pasti kami melangkah, menyusuri hutan pinus yang cantik diiringi nyanyian burung-burung. Sungguh suatu hal yang tidak bisa dinikmati setiap hari. Kami terus berjalan, meninggalkan hutan pinus yang cantik menuju hutan. Di sisi-sisinya terdapat pohon kopi. Juga pepohonan pisang yang tinggi menjulang, sampai pohon salak dan nanas menghiasi kanan dan kiri sepanjang jalan kami.

Hutan semakin lebat, pohon-pohon semakin tinggi dan cahaya semakin sedikit. Saya merasa tidak nyaman memasuki hutan ini. Sepanjang jalan saya berdoa dalam hati, semoga selamat di perjalanan dan tidak terjadi hal-hal yang membahayakan. Jalur pendakian lumayan menanjak, seperti jalur air hanya sanya terkadang terdapat jalan setapak datar sebagai bonusnya. Sekitar 1,5 jam kami sampai di Leuweng Datar 1225 mdpl. Kami rehat sejenak, menikmati udara segar masuk ke rongga paru-paru yang tersengal-sengal. Tidak lama, kami lanjutkan kembali perjalanan. Jalur masih mirip seperti jalur dari Cibunar ke Leuweng Datar, namun kali ini sudah tidak ada lagi kebun milik warga. Tanah lembab kami pijaki selangkah demi selangkah. Sesekali kami bernyanyi demi mengusir lelah. Peluh bercucuran dan baju mulai basah. Tetapi semangat kami terus memacu, ingin menuju tempat yang lebih tinggi. Tidak lama, kami sampai di Condang Amis. Aku tersenyum, dan berpikir dalam hati bahwa pendakian semakin dekat menuju puncak sunan. Target kami untuk bermalam adalah Sangga Buana II, 7 pos lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi. Di bawah kami menyusul 4 pendaki, yang ternyata sama-sama dari tempatku berasal, Bintaro. Kami ngobrol ala kadarnya, satu diantara mereka pernah mendaki ceremai sebelumnya. Dan kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kembali setelah berpamitan dengan mereka.

Perjalanan kami lanjutkan, dan kali ini jalur pendakian semakin curam. Ya…karakter suatu gunung. Semakin keatas semakin sadis track yang akan dilalui. Kami terus berjalan, perlahan. Karena kaki-kaki kami mulai letih mendaki. Sesekali kami berhenti, menarik napas dengan cepat beberapa kali untuk menstabilkan kembali detak jantung yang menderu. Setelah mendaki lebih dari satu jam, kami menemukan tempat yang lumayan lapang. Ya…kami sampai di pos Kuburan Kuda 1450 mdpl kira-kira jam 11.10 WIB. Entah mengapa rasanya saya sangat mengantuk di sana. Namun saya berpikir ini adalah suatu kewajaran karena kelelahan dan kurang istirahat semalam. Ternyata Roy da Kodel pun merasakan hal yang sama. Kami memutuskan tidur sejenak di sini. Mungkin kira-kira 10-15 menit kami terlelap. Dan saat terbangun, saya merasa badan saya sangat lemas karena tidur yang tidak memuaskan. Pendaki yang kami temui di bawah belum sampai. Dan kami pun belum bertemu dengan pendaki yang turun.

Saya kencangkan kembali belt carrier bag, dan bersiap mendaki. Tetapi melihat tracknya, saya geleng-geleng kepala. Sudah mulai menanjak curam, 70 derajat. Kontur tanahnya lembab dan lengket. Akan sangat licin bila hujan turun. Semoga perjalanan ini tidak diiringi guyuran hujan, doa saya dalam hati.
Perlahan, dengan berpegang pada akar-akar pepohonan yang menyemb ul dari tanah, saya mendaki, satu-persatu. Nafas yang semakin tersengal, detak jantung yang semakin menderu, peluh yang bercucuran deras, menjadi teman kami dalam perjalanan. Target kami pukul 12.30 sudah sampai di pos pangalap agar bisa istirahat siang sambil mengisi perut. Benar saja, saya bahagia ketika melihat plang yang terikat di pohon “Pangalap 1650 mdpl”. Bahagia karena bisa istirahat, melepas lelah, mengisi perut dan bercanda tanpa napas putus-putus satu-satu.

Disana ada 2 tenda yang didirikan. Sepertinya pendaki-pendaki itu sedang summit karena suasananya sepi. Hanya ada 2 orang yang sedang beristirahat sambil makan roti, seorang pendaki laki-laki dan seorang lagi perempuan. Mereka menawarkan air yang tersisa di botol 1,5 liter. Air nya masih penuh. Langsung saja kami pergunakan untuk masak air untuk membuat kopi dan memasak nasi. Kemudian dilanjutkan dengan menggoreng sosis, tempe tepung, dan kerupuk. Terakhir, sup macaroni sayuran menjadi penutup acara masak-memasak siang ini. Sungguh merupakan makan siang yang mewah…

Kami banyak bercanda di pos ini, menyusun makan sedemikian rupa, menghiasnya dengan daun-daunan, dan berfoto dengan hasil masakan kami, juga menunaikan ibadah yang langsung kami gabung menjadi satu waktu. Tidak terasa sudah pukul 15.00 sore. Ternyata kami sangat lama disini, lupa waktu.seharusnya istirahat siang bisa 1 jam saja, molor menjadi 2,5 jam.

Pendakian pun kami lanjutkan. Track semakin curam. Tidak ada ampun, hampir terus-terusan menanjak hingga 70 derajat kemiringannya. Saya semakin lelah, sepertinya yang saya makan tadi tidak cukup memulihkan energi yang telah terpakai. Setiap kali melihat tanah yang lapang, saya berharap bahwa itu adalah pos Tanjakan Seruni. Tetapi harapan saya sia-sia, sampai satu jam mendaki saya belum menemukan pos itu. Napas sudah semakin sulit, langkah kaki semakin gontai. Sampai akhirnya kira-kira pukul 16.30 kami tiba di pos Tanjakan Seruni 1825 mdpl. Sejauh ini mendaki, kami belum berada di ketinggian lebih dari 2000 mdpl. Saya sudah lelah, hari semakin sore. Saya khawatir tidak akan sampai di Sangga Buana hingga malam nanti.


Kami tidak ingin berlama-lama beristirahat. Terus memburu waktu, kami tetap bertekad melangkah. Saya sudah tindak ingat lagi seperti apa kondisi kanan dan kiri sepanjang jalur pendakian ini. Yang saya ingat hanya ada jalur air, kecuraman, batu-batu, jalur air lagi, akar, pohon, dan entah apalagi. Sekeliling sangat rimbun dengan semak hutan. Tanjakan ini benar-benar menyiksa, tidak kunjung sampai, dan entah sampai kapan. Napas semakin terengah, dan saya mulai limbung. Kepala saya pusing, dan terada tekanan darah saya menurun. Saya minta break sebentar, duduk, bersandar, dan memejamkan mata. Lima menit sudah terlewati, tapi saya tak ingin beranjak, saya merasa sangat lelah. “Ayo, jalan lagi”, ucap Kodel menyadarkan saya bahwa perjalanan masih jauh.

Kembali kami mneyusuri jalanan tanah lembab dan berakar, memanjat dari satu pijakan ke pijakan lain. Saya merasa putus harapan, hampir menyerah, ingin rasanya berkata “break” atau “ pulang aja yuk” dan “cari lahan buat ng-camp ya, capeee..”. Tapi syukurlah kata-kata itu tidak keluar dari bibir saya. Saya belum menyerah. Sampai akhirnya kami berada di pos Bapa Tere 2025 mdpl. Masih 3 pos lagi, dan saya bisa tidur dengan nyaman…

Kami terus berjalan, menahan beban punggung yang semakin berat, ketinggian yang sudah melewati 2000 mdpl ini menyemangati saya untuk terus melangkah. Cahaya semakin sedikit, hari semakin gelap. Kami bertemu dengan dua orang pendaki yang hendak turun, dan mereka menyarankan untuk membangun camp si shelter-shelter kecil sepanjang pendakian antara Bapa Tere – Batu Lingga. Sepertinya mereka ingin menyampaikan sesuatu, hal yang tersirat, bahwa sebaiknya tidak mendirikan camp di Batu Lingga. Saya, yang kelelahan ini, terserah pada Kodel dan Roy akan mendirikan camp dimana, yang penting bisa istirahat dan meluruskan kaki-kaki yang semakin pegal.

Perjalanan berlanjut, kami bertemu pendaki yang mendirikan camp di jalan dengan tanah sedikit lapang. Mereka memberikan 1 botol air kepada kami. Awalnya kami menolak karena persediaan air sangat cukup. Tetapi entah mengapa mereka sangat memaksa, dan Roy menerima air tersebut. Kami berterima kasih atas pemberian air tersebut. Lumayan sebagai cadangan. Saya dan Dika berpikir bahwa kami sangat hoki, 2 kali diberi air oleh pendaki, total 3 liter. Jumlah yang lumayan banyak untuk 3 orang pendaki. Tiba-tiba dijalan hujan mengguyur tanpa ampun. Hari sudah gelap, dan masing-masing dari kami menyalakan senter sebagai satu-satunya penerangan.

“Kita camp di Batu Lingga aja”, ucap Kodel waktu itu. Saya dan Roy mengiyakan. Perjalanan semakin berat, jalanan yang licin, hujan yang turun dengan derasnya, dan malam hari, membuat langkah kaki saya terseok, melambat, kelelahan. Saya semakin limbung, serasa sudah tidak mampu untuk melanjutkan perjalanan. Sedikit melangkah, saya terhenti. Melangkah lagi, dan berhenti lagi. Mengumpulkan napas yang semakin sesak karena oksigen yang semakin tipis dan harus berebut dengan tumbuhan-tumbuhan yang menjulang.

“kalau jam setengah lapan belum sampe Batu Lingga, kita camp di jalan cari tanah lapang”, kali ini Kodel berkata seperti tahu bahwa saya sudah tidak kuat lagi. Jalanan semakin sulit untuk dilalui, beban semakin berat untuk digendong, dan kaki-kaki ini semakin lemah mengikuti jalanan yang terus mendaki. Saya berharap semoga cepat bertemu dengan Batu Lingga. Tapi sepertinya waktu berjalan melambat. Hujan belum juga berhenti. Sedangkan saya, hampir menangis putus asa. Sampai akhirnya, Roy berkata “Batu Lingga” tepat pukul 19.00 malam.Alhamdulillah… (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar