Kisah

Minggu, 19 Januari 2014

Menyapa Kaldera Gunung Ceremai di Penghujung Tahun 2012 [Part 3]

(lanjutan)

Saya mengatur napas satu-satu, perlahan, hingga tenang. Mata ini menyapu sekeliling. Dan saya merasa tidak nyaman, benar-benar tidak nyaman disini. Sunyi, tidak ada satupun pendaki mendirikan camp di batu Lingga 2200 mdpl. Tapi keletihan mengalahkan segalanya. Kodel, Roy dan Saya mulai berdiskusi untuk mendirikan tenda. Kodel ingin tenda berdiri di bawah pohon dengan alasan menghindari hujan yang langsung jatuh ke tenda. Roy berkata jangan di sana. Saya pun merasa bahwa tenda tidak tepat didirikan di bawah pohon walaupun akan menghindarkan dari kucuran hujan. Saya bersikeras mendirikan tenda dekat dengan jalur pendakian ke arah bawah. Akhirnya Kodel mengalah. Dengan cekatan mereka mulai mendirikan tenda dan saya memasak air. Hujan reda, tas disusun di dalam tenda oleh roy. Barang-barang yang akan digunakan dikeluarkan dari dalam tas. Kodel berganti pakaian di baliktenda karena sudah kedinginan katanya. Roy sudah berganti pakaian. Air sudah matang, minuman sudah saya siapkan. Kemudian saya berganti pakaian, dan Roy menyiapkan makan malam, mie instant. Tidak lama, hujan kembali turun. Semua masuk ke tenda, termasuk mie instant yang sedang dimasak.

Setelah mie instant siap, kami mulai menikmati makan malam nikmat di dalam tenda di bawah guyuran hujan. Ternyata hujannya awet. Hujan turun, kemudian berhenti, turun lagi, berhenti. Sampai akhirnya hujan terus turun entah sampai kapan…

“Roy, denger suara orang pidato ngga?”, tanyaku kepada Roy karena penasaran sejak awal memasak air saya disuguhi suara seperti orang berpidato dan suara berisik seperti di pasar.
“Iya”, jawab Roy singkat. Saya menghela napas panjang.
“Oh, ya udah. Jangan dibahas”, lanjutku mencoba menenangkan diri.

Suara berisik itu sudah hilang, tetapi suara seperti pidato itu masih terdengar. Entah suara apa, yang jelas seperti mendengarkan pidato gaya jaman dulu dari radio dalam jarak yang cukup jauh, sayup-sayup entah menggunakan bahasa apa. Sampai akhirnya saya terbiasa dan kembali berbincang dengan Kodel dan Roy. Setelah makan, kami kekenyangan dan berniat untuk tidur. Tapi Kodel masih ingin ngemil.
“Popcorn-nya belum di bikin…”, ucapnya. Saya sudah ngantuk dan tak memerdulikannya. Ternyata Kodel tetap gigih membuat popcorn. Saat popcorn matang, entah ada kekuatan darimana, saya terbangun dan ikut menikmati popcorn tersebut.

“Kita makan popcorn, emang lagi nonton apaan sih?”, candaku yang langsung dijawab oleh Roy dengan bercanda pula “ Buka aja tendanya, kita nonton yang di depan tenda”.
Saya langsung terdiam. Yang di depan tenda kan pohon besar,pikirku.
“Jangan ngomong itu ah Roy”, ujarku.
“Kenapa?takut ya?” , kata Kodel yang tidak kujawab pertanyaannya.

Tak lama setelah menikamti popcorn bersama, kami terlelap dalam buaian hujan di tengah hutan setelah sebelumnya berjanji akan bangun pukul 03.30 pagi keesokan harinya.
* * *

Tiba-tiba alarm mengagetkanku karena menjerit-jerit tepat di samping telinga. Kodel juga ternyata tebangun mendengar saura alarm itu. Begitu juga dengan Roy. Tapi karena masih sama-sama mengantuk, kami mengingkari janji kami masing-masing dan kembali terlelap hingga pukul 04.30 WIB.

Akhirnya kami bangun, tidak lupa menunaikan ibadah subuh dan minum air hangat sebelum berangkat. Saat bersiap-siap, kami bertemu dua orang pendaki yang ternyata mendirikan camp tepat 1 shelter di bawah kami. Mereka mendaki lebih dulu sementara kami masih bersiap. Diantara obrolan yang saya ingat, kami membahas tentang plat yang diletakkan di bawah pohon di Batu Lingga. Saya tidak tau kalau ada plat kenangan diletakkan disana, karena seingat saya saat ngobrol dengan supir taksi yang membawaku dari Bintaro menuju Lebak Bulus, plat diletakkan di Sangga Buana II. Terukir nama Kasmi dan Wiwit disana, sama-sama meniggal dunia 24 September 1999. Ah…Wiwit, namamu mirip dengan namaku…

Perjalanan pun kami lanjutkan pagi ini, Minggu 30 Desember 2012 pukul 05.00 WIB dengan cuaca yang sepertinya akan cerah. Track yang kami lewati tidak ada yang biasa, tanpa bonus jalan mendatar sama sekali. Perjalanan sedikit lebih mudah karena beban yang kami bawa hanyalah kamera dan logistic secukupnya. Perlahan namun pasti, kami susuri jalan tanpa liku, lurus sejajar memotong jalur kompas.

Udara lembab dan basah menemani setiap langkah kami,menjejak satu demi satu tanah, akar, dan batuan. Puncak semakin dekat saat kami sadari pepohonan semakin menipis. Kurang dari satu jam perjalanan kami sudah berdiri di Sangga Buana 2500 mdpl. Bergegas kami melangkah, terus menyusurin jalan yang semakin berbatu dan curam. Tidak ada pilihan lain, kami harus merambat agar tetap stabil berpegangan dari satu batu ke batu lain. Tuhan kuatkan aku…

Tidak tau berapa lama, kami sudah sampai di Pangasinan 2800 mdpl. Saya sempat bingung, di mana Sangga Buana II karena saya sama sekali tidak melihat plang-nya. Dari Pangasinan, kami bisa melihat Puncak Ceremai. Tapi keliahatannya itu sangat jauh. Entah mengapa saya kembali patah semangat. Perjalanan menuju Puncak Sunan ini sangat menyita emosi dan kesabaran saya. Dengan sisa-sisa tenga dan semangat yang tinggal seujung kuku, saya kembali menanjak. Kodel di depan, sedangkan Roy di belakang. Mungkin karena saya terhilat kesusahan, Roy menawarkan untuk membawakan tas kamera saya. Thanks ya Roy…

Jalur ini sungguh tak bersahabat. Bebatuan, jalur air, dan tidak ada yang lain selain bebatuan dan lagi-lai jalur batu. Yang menjadi pelipur lara adalah sekeliling jalur dihiasi oleh pohon edelweis jawa yang belum berkembang dan langit biru cantik dihias awan berarak-arak. Saya semakin melambat, seperti sudah tidak memiliki tenaga lagi. Kodel terus menyemangati,”Ayo semangat. Tuh puncaknya udah keliatan”.

Berkali-kali ia bicara seperti itu, sampai akhirnya saya menjawab “Boong…dari tadi ga sampe-sampe”.
Kali ini saya benar-benar hopeless. Tertatih, emosi yang semakin tidak stabil, kelelahan, dan rasanya ingin turun kembali ke camp. Ini sudah hampir tiga jam perjalanan dari Batu Lingga, dan tak ada tanda-tanda puncak.






“Puncak tuh. Ayo, bunyi angin nya udah beda…”, sekali lagi Kodel berucap sambil melihat ke saya yang jaraknya kira-kira 20 meter dibawahnya. Saya masa bodoh. Sudah tidak lagi percaya. Pelan-pelan saya melangkah, sesekali berhenti, melangkah lagi, sampai akhirnya terdengar suara Kodel sedang ngobrol dengan orang lain diatas sana.

“Itu puncak…”, ucap saya dalam hati. Tiba-tiba semangat saya kembali membara. Entah kekuatan darimana saya seolah memiliki tenaga ekstra untuk mencapai puncak yang tinggal beberapa langkah lagi…

Dan akhirnya, saya berdiri disini, di puncak Cemerai. Di titik tertinggi jawa Barat. Keharuan sungguh menyeruak di hati saya, dan menahan sekuat apapun adalah sia-sia. Air mata saya menetes, satu-satu dan semakin deras. Semua rasanya tumpah ruah jadi satu. Kagum atas apa yang telah dicipta oleh Penciptaku. Angin yang menerpa wajah, udara dingin yang menyambutku, batu-batu yang melingkari puncak gunung menjaga kaldera kehijauan cantik yang tersembunyi di tengahnya, dan hangat matahari yang memelukku, mengucapkan selamat datang di Puncak Sunan….











Tuhan, terima kasih telah mengizinkanku untuk menikmati indah alam-Mu dari ketinggian 3078 mdpl ini…



Dari jauh, terlukis Gunung Slamet dihiasi awan di sekelilingnya. Dan saya yakin, suatu saat saya akan berdiri di puncaknya….


Many Thanks to Dika and Roy, teman perjalananku kali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar